Jakarta-Radartujuh, Biaya perjalanan ibadah haji (bipih) atau dikenal biaya haji pada 2023 diusulkan naik menjadi Rp 69 juta, kontras dibanding 2022 yang hanya Rp 39 juta. Jika disepakati, dana sebesar Rp 69 juta itu akan dibebankan kepada jemaah.
Di luar biaya Rp 69 juta, sebenarnya terdapat nilai manfaat Rp 29 juta yang berasal dari pengelolaan dana haji oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Jika dijumlah, biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) atau dahulu disebut ongkos naik haji (ONH) menjadi Rp 98 juta.
Pada 2023, Kementerian Agama (Kemenag) mengusulkan BPIH sebesar Rp 98.893.909 per orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 70% dibebankan pada jemaah, sementara sisanya bersumber dari manfaat dana haji yang dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH)
Pada 2022, dengan BPIH Rp 98.379.021,09, biaya yang dibebankan jemaah Rp 39 juta (40%) dan sisanya Rp 58 juta (60%) diambil dari nilai manfaat dana haji.
Usulan kenaikan biaya haji 2023 menjadi Rp 69 juta dibanding sebelumnya Rp 39 juta tidak adil bagi calon jemaah haji. Apalagi, sebagian besar dari mereka kemampuan ekonominya tergolong menengah ke bawah, karena pekerjaannya, antara lain petani, nelayan, buruh, dan pedagang. Untuk mendaftar haji saja, mereka perlu menabung bertahun-tahun.
Besarnya biaya haji yang dibebankan kepada jemaah pada tahun ini dibanding tahun-tahun sebelumnya menimbulkan pertanyaan publik bagaimana sesungguhnya pengelolaan dana haji yang dilakukan BPKH? Jika pengelolaannya benar, semestinya nilai manfaat akan cepat bertambah. Kalau nilai manfaat dana haji naik, masalah kesinambungan dan keadilan tidak perlu menjadi persoalan.
Sebagai gambaran, sebelum mendaftar haji reguler, jemaah diwajibkan membayar setoran awal dengan membuka tabungan haji di bank penerima setoran (BPS) syariah. Pembukaan rekening tabungan haji dimulai dengan setoran minimal Rp 25 juta. Meski demikian, jemaah tidak bisa langsung berangkat. Daftar tunggunya bervariasi, mulai 10 tahun hingga 30 tahun.
Nah, setoran awal jemaah inilah yang dikelola BPKH untuk dijadikan nilai manfaat. Sisa biaya haji wajib dibayar jemaah sebelum tahun keberangkatan. Jika jemaah sudah membayar setoran awal Rp 25 juta, maka sisa yang dilunasi Rp 44 juta.
Padahal, dengan simulasi sederhana, jika setoran awal Rp 25 juta dan asumsi bunga deposito 5% per tahun untuk masa tunggu 15 tahun, seharusnya uang yang dilunasi jemaah haji tidak terlalu besar. Dari Rp 25 juta, uang jemaah setelah 16 tahun dengan bunga deposito 5% akan mencapai Rp 54 juta. Namun pengelolaan dana haji oleh BPKH membuat hal tersebut tidak terwujud, sehingga jemaah masih harus menambah banyak kekurangannya.
"Hitungan memang betul kalau bunga 5% (untuk 15 tahun masa tunggu) ketika berangkat tidak terlalu banyak pelunasannya," kata Ketua Komisi Nasional Haji dan Umrah (Komnas Haji) Mustolih Siradj kepada Beritasatu.com.
Nilai manfaat keuangan haji juga tidak optimal karena biaya operasional BPKH diambil dari jemaah. Sebelum ada BPKH, tidak ada biaya operasional dan gaji yang nilainya cukup besar. Untuk diketahui, sebelum ada BPKH pengelolaan dana haji berada di bawah Ditjen Penyelenggara Haji dan Umrah (PHU) Kemenag.
Ketua Fraksi PAN DPR, Saleh Partaonan Daulay mengatakan publik harus tahu bahwa biaya operasional BPKH menurut PP 5/2018 adalah maksimal 5% dari perolehan nilai manfaat tahun sebelumnya. Untuk tahun 2023, sudah ditetapkan besarannya adalah Rp 386,9 miliar. Kalau dibagi 203.320 calon jemaah, itu sama dengan setiap jemaah menyumbang Rp 1,9 juta bagi operasional BPKH.
Kurang optimalnya pengelolaan dana haji yang ditandai dengan banyaknya biaya haji yang dibayar jemaah diakui pemerintah. Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas dalam raker di Komisi VIII DPR mengatakan kebijakan formulasi komponen BPIH dilakukan untuk menyeimbangkan besaran beban jemaah dengan keberlangsungan nilai manfaat BPIH di masa mendatang. Pembebanan BPIH harus menjaga prinsip istitha'ah dan likuiditas penyelenggaraan ibadah haji tahun-tahun berikutnya.
"Itu usulan pemerintah. Menurut kami, itu yang paling logis untuk menjaga supaya (dana, Red) yang ada di BPKH tidak tergerus. Ya, dengan komposisi seperti itu. Jadi dana manfaat itu dikurangi tinggal 30%, sementara yang 70% menjadi tanggung jawab jemaah," terangnya.
Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag Hilman Latief mengatakan pemerintah mengajukan skema yang lebih berkeadilan pada BPIH 2023. Komposisi bipih atau dana haji yang menjadi tanggungan jemaah dan penggunaan nilai manfaat dari BPKH dihitung lebih proporsional. Hal ini untuk menjaga agar nilai manfaat yang menjadi hak seluruh jemaah haji Indonesia, termasuk yang masih mengantre keberangkatan, tidak tergerus.
Hilman mengatakan nilai manfaat bersumber dari hasil pengelolaan dana haji yang dilakukan BPKH. Nilai manfaat adalah hak seluruh jemaah haji Indonesia, termasuk sekitar 5 juta calon jemaah haji yang masih menunggu antrean berangkat. Sejak 2023 dan seterusnya, nilai manfaat harus digunakan secara berkeadilan guna menjaga keberlanjutan. Apalagi, kinerja BPKH juga belum optimal, sehingga belum dapat menghasilkan nilai manfaat ideal.
Jika pengelolaan BPKH tidak kunjung optimal serta komposisi bipih dan nilai manfaat masih tidak proporsional, maka nilai manfaat akan terus tergerus dan tidak menutup kemungkinan akan habis pada 2027.
"Jika komposisi bipih 41% dan nilai manfaat 59% seperti pada 2022 dipertahankan, diperkirakan nilai manfaat habis pada 2027, sehingga jemaah pada 2028 harus bayar full 100%, padahal mereka juga berhak atas nilai manfaat simpanan setoran awal yang sudah lebih dari 10 tahun," ujarnya.
Selama ini, nilai manfaat dari dana haji yang dikelola BPIH terlalu besar dan cenderung tidak sehat, sementara setoran awal jemaah haji tetap Rp 25 juta selama dua dekade terakhir. Situasi ini menekan dana haji yang dikelola BPKH. Terlebih, dengan kuota yang kembali normal pada 2023 sebanyak 221.000 jemaah. SA:Beritasatu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar